Manusia dan Harapan
A.
Pengertian
Harapan
Setiap manusia mempunyai harapan. Manusia yang tidak
memiliki harapan berarti manusia itu mati dalam hidup. Bahkan orang yang sudah
meninggal pun mempunyai harapan berupa pesan kepada ahli warisnya.
Harapan berasal dari kata harap yang
artinya keinginan akan sesuatu, sehingga harapan berarti sesuatu yang
diinginkan dapat terjadi. Harapan tergantung pada pengetahuan, pengalaman,
lingkungan, dan kemampuan masing-masing. Berhasil atau tidaknya suatu harapan
bergantung pada usaha orang yang mempunyai harapan tersebut.
Harapan harus berdasarkan kepercayaan,
baik kepercayaan pada diri sendiri maupun kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Agar harapan terwujud diperlukan usaha yang sungguh-sungguh. Manusia wjib
berdoa diiringi dengan usaha karena usaha dan doa merupakan saran terkabulnya
suatu harapan.
B.
Apa
Sebab Manusia Mempunyai Harapan?
Menurut kodratnya manusia adalah makhluk
sosial. Setiap lahir ke dunia manusia disambut dalam suatu pergaulan hidup baik
dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat lainnya. Ada dua hal yang mendorong
orang untuk bergaul dengan orang lain, yakni dorongan kodrat dan dorongan
kebutuhan hidup.
Kodrat
ialah sifat, keadaan, atau pembawaan alamiah yang sudah ada dalam diri manusia
sejak manusia diciptakan oleh Tuhan. Dorongan kodrat menyebabkan manusia
mempunyai keinginan atau harapan, misalnya menangis, tertawa, gembira dan lain
sebagainya.
Dorongan
kebutuhan hidup pada garis besarnya dibedakan dalam kebutuhan jasmani dan
kebutuhan rohani. Untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut manusia saling
bekerja sama dengan manusia lainnya. Hal ini disebabkan karena terbatasnya
kemampuan fisik atau jasmani maupun cara berpikir seorang manusia sehingga
antar manusia saling membutuhkan sesamanya.
C.
Kepercayaan
Kepercayaan berasal dari kata percaya yang
artinya mengakui atau meyakini akan kebenaran. Kepercayaan adalah hal-hal yang
berhubungan dengan pengakuan atau keyakinan akan kebenaran.
Kita pasti sering
mendengar ucapan-ucapan seperti :
-
Saya tidak percaya dia bisa melakukan hal seperti itu.
-
Bagaimana bisa kejadian itu bisa terjadi, saya tidak percaya.
-Kita
harus pecaya pada ajaran yang tercantum dalam Al-Qur’an.
Dengan contoh diatas maka jelaslah bila
dasar suatu kepercayaan itu adalah kebenaran.
Dalam agama terdapat kebenaran-kebenaran
yang dianggap sebagai wahyu yang diberikan oleh Tuhan baik secara langsung
maupun tidak langsung kepada manusia. Kepercayaan dalam agama merupakan
keyakinan yang paling besar.
Kebenaran sangat penting bagi manusia.
Dalam bertingkah laku manusia selalu berhati-hati agar tidak menyimpang dari
kebenaran. Manusia sadar bahwa ketidakbenaran dalam bertindak dapat mencemarkan
atau menjatuhkan namanya. Karena itu wajarlah bila ketidak benaran dapat
berakibat kegelisahan, ketidakpastian, dan kedukaan.
Dalam ajaran agama Budha ada ajaran
yang dinamakan”Jalan Utama Delapan
Orang” yang berisi, agar setiap pemeluknya memiliki pandangan yang benar,
perbuatan yang benar, mata pencaharian yang benar, perhatian yang benar, dan
konsentrasi yang benar.
Tujuan ajaran itu agar pemeluknya tidak
mengalami duka, kegelisahan, dan ketidak pastian. Ajaran kebenaran itu juga
dapat kita temui dalam ajaran agama-agama lain.
Jadi bisa kita simpulkan bahwa kebenaran
atau benar merupakan kunci kebahagiaan manusia. Itulah sebabnya manusia selalu
berusaha dalam mencari, mempertahankan, dan memperjuangkan kebenaran.
D.
Berbagai
Kepercayaan dan Usaha Meningkatkannya
Dasar kepercayaan adalah kebenaran dan sumber
kebenaran adalah manusia. Kepercayaan dibedakan dalam :
1. Kepercayaan
pada diri sendiri.
Kepercayaan pada diri sendiri sudah
ditanamnkan dalam pribadi setiap manusia. Percaya pada diri sendiri pada
hakekatnya percaya kepada Tuhan. Percaya pada diri sendiri menganggap dirinya
tidak salah dan dirinya mampu mengerjakan apa yang diserahkan atau dipercayakan
padanya.
2. Kepercayaan
kepada orang lain.
Percaya kepada orang lain dapat berupa
percaya pada saudara, orang tua, guru, atau siapa saja. Keprcayaan kepada orang
lain itu sudah tentu percaya terhadap hatinya. Ada ucapan yang berbunyi “orang
itu dipercaya karena ucapannya”. Misalnya orang yang berjanji sesuatu harus
ditepati, meskipun janji itu tidak didengar orang lain.
3. Kepercayaan
kepada pemerintah.
Berdasarkan pandangan teokratis menurut
etika, filsafat tingkah laku karya Prof. Ir. Poedjawiyatna, negara itu berasal
dari Tuhan. Tuhan langsung memimpin dan memerintah umat manusia atau Tuhanlah
yang memiliki kedaulatan sejati. Karena semua yang ada di dunia ini adalah
ciptaan Tuhan.
Pandangan demokratis mengatakan bahwa
kedaulatan adalah dari rakyat (kewibawaan pun milik rakyat. Rakyat adalah
negara dan rakyat menjelma menjadi negara. Satu-satunya realitas adalah
negara). Manusia sebagai seorang individu tidak akan berarti. Satu-satunya yang
mempunyai hak ialah negara. Manusia perorangan tidak mempunyai hak dan hanya
mempunyai kewajiban. Karena itu wajarlah bila manusia sebagai warga negara
percaya kepada negara/pemerintah.
4. Kepercayaan
kepada Tuhan.
Kepercayaan kepada Tuhan yang maha kuasa
amtlah penting, karena manusia diciptakan oleh-Nya. Kepercayaan berarti
keyakinan dan pengakuan akan kebenaran. Kepercayaan itu amat penting karena
merupakan tali kuat yang dapat menghubungkan rasa manusia dengan Tuhannya.
Bagaimana Tuhan dapat menolong umatnya bila umatnya sendiri tidak mempunyai
kepercayaan kepada Tuhannya sebab tidak ada tali penghubung yang mengalirkan
daya kekuatannya.
Oleh karena itu jika manusia hendak
meminta pertolongan dari Tuhannya, maka haruslah manusia percaya kepada
Tuhannya. Sebab Tuhanlah yang selalu menyertai manusia. Kepercayaan akan adanya
zat yang maha tingggi yang menciptakan alam semesta merupakan kewajiban
tiap-tiap umat beragama untuk mempercayai-Nya.
Berbagai usaha yang dilakukan manusia
untuk meningkatkan rasa percaya kepada Tuhannya anatara lain :
a. Meningkatkan
ketaqwaannya dengan cara ibadah.
b. Meningkatkan
pengabdiannya kepada masyarakat.
c. Meningkatkan
kecintaan kepada sesama manusia dengan cara menolong sesamanya.
d. Mengurangi
nafsu mengumpulkan harta yang berlebihan.
e. Menekan
perasaan Negatif seperti iri, dengki, dan sebagainya.
Sumber : Ilmu Budaya Dasar oleh Widyo Nugroho dan Achmad Muchji